|
Kerukunan Umat Beragama
|
Ilmu Sosial Dasar
|
|
UNIVERSITAS GUNADARMA
|
1/15/2013
|
|
Disusun oleh :
Nama : Maydhi Wiratamara Nursholehah
NPM :
54412503
Mata Kuliah : Ilmu Sosial Dasar
Fakultas : Teknologi Industri
Jurusan : Teknik Informatika
Kelas :
1IA10
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan Puji Syukur kehadirat ALLAH SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Kerukunan
Umat Beragama” tepat pada waktunya.
Makalah ini menjelaskan tentang apa itu Kerukunan umat beragama, dan apa
kendala-kendalanya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat di kehidupan
masyarakat baik bagi penulis maupun pembaca. Selesainya penulisan makalah ini
semata-mata berkat bantuan dari berbagai pihak, yang telah memberikan dukungan
dalam berbagai bentuk kepada penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang terlibat dalam penulisan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih terdapat banyak
kekurangan, untuk itu penulis berharap kritik dan saran dari para pembaca,
guna menyempurnakan makalah ini.
Depok,
15 Januari 2013
Penulis
(Maydhi Wiratamara Nursholehah)
BAB I
PENDAHULUAN
Persamaan Membangun Kerukunan Antar Umat Beragama, tidak bisa
dibantah bahwa pada akhir-akhir ini ketidakerukunan antar umat beragama
menghasilkan berbagai ketidakharmonisan ditengah-tengah kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat. Oleh sebab itu, perlu orang-orang yang
menunjukkan diri sebagai manusia beriman dan beragama dengan taat, berwawasan terbuka, toleran,
rukun dengan mereka yang berbeda agama. Disinilah letak salah satu peran umat
beragama, yaitu mampu beriman dengan setia dan sungguh-sungguh, sekaligus
tidak menunjukkan fanatik agama dan fanatisme keagamaan. Di balik aspek
perkembangan agama-agama, ada hal yang penting pada agama yang tak berubah,
yaitu credo atau pengakuan iman. Credo merupakan sesuatu khas,
dan mungkin tidak bisa dijelaskan secara logika, karena menyangkut iman atau
percaya kepada sesuatu di luar jangkauan kemampuan nalar manusia. Dan
seringkali credo tersebut menjadikan umat agama-agama melakukan
pembedaan satu sama lain. Dari pembedaan, karena berbagai sebab, bisa berkembang
menjadi pemisahan, salah pengertian, beda persepsi, dan lain sebagainya,
kemudian berujung pada konflik.
Di samping itu, hal-hal lain seperti pembangunan tempat ibadah,
ikon-ikon atau lambang keagamaan, cara dan suasana penyembahan atau ibadah,
termasuk di dalamnya perayaan keagamaan, seringkali menjadi faktor
ketidaknyamanan pada hubungan antar umat beragama. Jika semua bentuk pembedaan
serta ketidaknyamanan itu dipelihara dan dibiarkan oleh masing-masing tokoh
dan umat beragama, maka akan merusak hubungan antar manusia, kemudian merasuk
ke berbagai aspek hidup dan kehidupan. Misalnya, masyarakat mudah terjerumus
ke dalam pertikaian berdasarkan agama. Untuk mencegah semuanya itu, salah satu
langkah yang penting dan harus terjadi adalah kerukunan umat beragama.
Suatu bentuk kegiatan yang harus dilakukan oleh semua pemimpin dan umat
beragama.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kerukunan Antar Umat Beragama
Kerukunan [dari ruku, bahasa Arab, artinya tiang atau
tiang-tiang yang menopang rumah; penopang yang memberi kedamain dan
kesejahteraan kepada penghuninya] secara luas bermakna adanya suasana
persaudaraan dan kebersamaan antar semua orang walaupun mereka berbeda secara
suku, agama, ras, dan golongan. Kerukunan juga bisa bermakna suatu proses
untuk menjadi rukun karena sebelumnya ada ketidakrukunan; serta kemampuan dan
kemauan untuk hidup berdampingan dan bersama dengan damai serta tenteram.
Langkah-langkah untuk mencapai kerukunan seperti itu, memerlukan proses waktu
serta dialog, saling terbuka, menerima dan menghargai sesama, serta
cinta-kasih.
Kerukunan umat
bragama yaitu hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi,
saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan
pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan
bernegara. Umat beragama dan pemerintah harus melakukan upaya bersama dalam
memelihara kerukunan umat beragama, di bidang pelayanan, pengaturan dan
pemberdayaan. Sebagai contoh yaitu dalam mendirikan rumah ibadah harus
memperhatikan pertimbangan Ormas keagamaan yang berbadan hokum dan telah
terdaftar di pemerintah daerah.
Pemeliharaan kerukunan umat beragama baik di tingkat Daerah, Provinsi, maupun Negara pusat merupakan kewajiban seluruh warga Negara beserta instansi pemerinth lainnya. Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfalisitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, mengkoordinasi kegiatan instnsi vertical, menumbuh kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, saling percaya diantara umat beragama, bahkan menerbitkan rumah ibadah.
Pemeliharaan kerukunan umat beragama baik di tingkat Daerah, Provinsi, maupun Negara pusat merupakan kewajiban seluruh warga Negara beserta instansi pemerinth lainnya. Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfalisitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, mengkoordinasi kegiatan instnsi vertical, menumbuh kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, saling percaya diantara umat beragama, bahkan menerbitkan rumah ibadah.
Sesuai dengan
tingkatannya Forum Krukunan Umat Beragama dibentuk di Provinsi dan Kabupaten.
Dengan hubungan yang bersifat konsultatif gengan tugas melakukan dialog dengan
pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat, menampung aspirasi Ormas keagamaan
dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi dalam bentuk rekomendasi sebagai
bahan kebijakan. Kerukunan antar umat
beragama dapat diwujdkan dengan :
1.
Saling
tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antar umat beragama
2.
Tidak
memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu
3.
Melaksanakan
ibadah sesuai agamanya, dan
4.
Mematuhi
peraturan keagamaan baik dalam Agamanya maupun peraturan
Negara atau Pemerintah.
Negara atau Pemerintah.
Dengan demikian akan dapat tercipta
keamanan dan ketertiban antar umat beragama, ketentraman dan kenyamanan di
lingkungan masyarakat berbangsa dan bernegara.
B.
Pengertian
Antar Umat Beragama Mernurut Islam
Kerukunan umat beragama dalam islam
yakni Ukhuwah Islamiah. Ukhuah islamiah berasl dari kata dasar “Akhu” yang
berarti saudara, teman, sahabat, Kata “Ukhuwah” sebagai kata jadian dan
mempunyai pengertian atau menjadi kata benda abstrak persaudaraan,
persahabatan, dan dapat pula berarti pergaulan. Sedangkan Islaiyah berasal
dari kata Islam yang dalam hal ini menjadi atau memberi sifat Ukhuwah,
sehingga jika dipadukan antara kata Ukhuwah dan Islamiyah akan berarti
persaudaraan islam atau pergaulan menurut islam.
Dapat dikatakan bahwa pengertian Ukhuah Islamiyah adalah gambaran tentang hubungan antara orang-orang islam sebagai satu persaudaraan, dimana antara yang satu dengan yang lain seakan akan berada dalam satu ikatan. Ada hadits yang mengatakan bahwa hubungan persahabatan antara sesame islam dalam menjamin Ukhuwah Islamuah yang berarti bahwa antara umat islam itu laksana satu tubuh, apabila sakit salah satu anggota badan itu, maka seluruh badan akan merasakan sakitnya. Dikatakan juga bahwa umat muslim itu bagaikan sutu bangunan yang saling menunjang satu sama lain. Pelaksanaan Ukhuwah Islamiyah menjadi actual, bila dihubungkan dengan masalah solidaritas social. Bagi umat Islam, Ukhuwah Islamiyah adalah suatu yang masyru’ artinya diperintahkan oleh agama. Kata persatuan, kesatuan, dan solidaritas akan terasa lebih tinggi bobotnya bila disebut dengan Ukhuwah. Apabila bila kata Ukhuwah dirangkaikan dengan kata Islamiyah, maka ia akan menggambarkan satu bentuk dasar yakni Persaudaraan Islam merupakan potensi yang obyektif.
Dapat dikatakan bahwa pengertian Ukhuah Islamiyah adalah gambaran tentang hubungan antara orang-orang islam sebagai satu persaudaraan, dimana antara yang satu dengan yang lain seakan akan berada dalam satu ikatan. Ada hadits yang mengatakan bahwa hubungan persahabatan antara sesame islam dalam menjamin Ukhuwah Islamuah yang berarti bahwa antara umat islam itu laksana satu tubuh, apabila sakit salah satu anggota badan itu, maka seluruh badan akan merasakan sakitnya. Dikatakan juga bahwa umat muslim itu bagaikan sutu bangunan yang saling menunjang satu sama lain. Pelaksanaan Ukhuwah Islamiyah menjadi actual, bila dihubungkan dengan masalah solidaritas social. Bagi umat Islam, Ukhuwah Islamiyah adalah suatu yang masyru’ artinya diperintahkan oleh agama. Kata persatuan, kesatuan, dan solidaritas akan terasa lebih tinggi bobotnya bila disebut dengan Ukhuwah. Apabila bila kata Ukhuwah dirangkaikan dengan kata Islamiyah, maka ia akan menggambarkan satu bentuk dasar yakni Persaudaraan Islam merupakan potensi yang obyektif.
Ibadah seperti zakat, sedekah, dan
lain-lain mempunyai hubungan konseptual dengan cita ukhuwah islamiyah. Ukhuwah
islamiyah itu sendiri bukanlah tujuan, Ukhuwah Islamiyah adalah kesatuan yang
menjelmakan kerukunan hidup umat dan bangs, juga untuk kemajuan agama, Negara,
dan kemanusiaan. “Janganlah bermusuh- musuhan, maka Allah menjinakan antara
hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara”
(QS. Ali Imran: 103) Artinya: “Dan
janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai dan berselisih sesudah
dating keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang0orang yang
mendapat siksa yang berat.
(QS. Ali Imran 105).
Kerukunan
adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan makna “baik” dan “damai”. Intinya,
hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat” untuk
tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran (Depdikbud, 1985:850) Bila
pemaknaan tersebut dijadikan pegangan, maka “kerukunan” adalah sesuatu yang
ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia. Namun apabila melihat kenyataan,
ketika sejarah kehidupan manusia generasi pertama keturunan Adam yakni Qabil
dan Habil yang berselisih dan bertengkar dan berakhir dengan terbunuhnya sang
adik yaitu Habil; maka apakah dapat dikatakan bahwa masyarakat generasi
pertama anak manusia bukan masyarakat yang rukun? Apakah perselisihan dan
pertengkaran yang terjadi saat ini adalah mencontoh nenek moyang kita itu?
Atau perselisihan dan pertengkaran memang sudah sehakekat dengan kehidupan
manusia sehingga dambaan terhadap “kerukunan” itu ada karena “ketidakrukunan”
itupun sudah menjadi kodrat dalam masyarakat manusia? Pertanyaan seperti
tersebut di atas bukan menginginkan jawaban akan tetapi hanya untuk
mengingatkan bahwa manusia itu senantiasa bergelut dengan tarikan yang berbeda
arah, antara harapan dan kenyataan, antara cita-cita dan yang tercipta.
Manusia
ditakdirkan Allah Sebagai makhluk sosial yang membutuhkan hubungan dan
interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk social, manusia
memerlukan kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,
baik kebutuhan material maupun spiritual. Ajaran Islam menganjurkan manusia
untuk bekerja sama dan tolong menolong (ta’awun) dengan sesama manusia dalam
hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat
berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama.
Kerja sama intern umat beragama
Persaudaraan atau ukhuwah, merupakan salah satu ajaran yang
mendapat perhatian penting dalam islam. Al-qur’an menyebutkan kata yang
mengandung arti persaudaraan sebanyak 52 kali yang menyangkut berbagai
persamaan, baik persamaan keturunan, keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama.
Ukhuwah yang islami dapat dibagi kedalam empat macam,yaitu:
-
Ukhuwah ’ubudiyah atau saudara
sekemakhlukan dan kesetundukan kepada Allah.
-
Ukhuwah insaniyah (basyariyah),
dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena semua berasal dari
ayah dan ibu yang sama;Adam dan Hawa.
-
Ukhuwah wathaniyah wannasab,yaitu
persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan.
-
Ukhuwwah fid din al islam,
persaudaraan sesama muslim.
Esensi dari persaudaraan terletak pada kasih sayang yang
ditampilkan bentuk perhatian, kepedulian, hubungan yang akrab dan merasa
senasib sepenanggungan. Nabi menggambarkan hubungan persaudaraan dalam
haditsnya yang artinya ” Seorang mukmin dengan mukmin yang lain seperti satu
tubuh, apabila salah satu anggota tubuh
terluka, maka seluruh tubuh akan merasakan demamnya. Ukhuwwah adalah persaudaraan yang berintikan kebersamaan dan kesatuan antar sesama. Kebersamaan di akalangan muslim dikenal dengan istilah ukhuwwah Islamiyah atau persaudaraan yang diikat oleh kesamaan aqidah. Persatuan dan kesatuan sebagai implementasi ajaran Islam dalam masyarakat merupakan salah satu prinsip ajaran Islam. Salah satu masalah yang di hadapi umat Islam sekarang ini adalah rendahnya rasa kesatuan dan persatuan sehingga kekuatan mereka menjadi lemah. Untuk menghindari perpecahan di kalangan umat islam dan memantapkan ukhuwah islamiyah para ahli menetapkan tiga konsep,yaitu :
terluka, maka seluruh tubuh akan merasakan demamnya. Ukhuwwah adalah persaudaraan yang berintikan kebersamaan dan kesatuan antar sesama. Kebersamaan di akalangan muslim dikenal dengan istilah ukhuwwah Islamiyah atau persaudaraan yang diikat oleh kesamaan aqidah. Persatuan dan kesatuan sebagai implementasi ajaran Islam dalam masyarakat merupakan salah satu prinsip ajaran Islam. Salah satu masalah yang di hadapi umat Islam sekarang ini adalah rendahnya rasa kesatuan dan persatuan sehingga kekuatan mereka menjadi lemah. Untuk menghindari perpecahan di kalangan umat islam dan memantapkan ukhuwah islamiyah para ahli menetapkan tiga konsep,yaitu :
·
Konsep tanawwul al ’ibadah
(keragaman cara beribadah). Konsep ini mengakui adanya keragaman yang
dipraktekkan Nabi dalam pengamalan agama yang mengantarkan kepada pengakuan
akan kebenaran semua praktek keagamaan selama merujuk kepada Rasulullah.
Keragaman cara beribadah merupakan hasil dari interpretasi terhadap perilaku
Rasul yang ditemukan dalam riwayat (hadits).
·
Konsep al mukhtiu fi al ijtihadi
lahu ajrun(yang salah dalam berijtihad pun mendapatkan ganjaran). Konsep ini
mengandung arti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, ia
tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah , walaupun hasil
ijtihad yang diamalkannya itu keliru. Di sini perlu dicatat bahwa wewenang
untuk menentukan yang benar dan salah bukan manusia, melainkan Allah SWT yang
baru akan kita ketahui di hari akhir. Kendati pun demikian, perlu pula diperhatikan
orrang yang mengemukakan ijtihad maupun orang yang pendapatnya diikuti,
haruslah orang yang memiliki otoritaskeilmuan yang disampaikannya setelah
melalui ijtihad.
·
Konsep la hukma lillah qabla
ijtihadi al mujtahid (Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad
dilakukan seorang mujtahid). Konsep ini dapat kita pahami bahwa pada
persoalan-persoalan yang belum ditetapkan hukumnya secara pasti, baik dalam
al-quran maupun sunnah Rasul, maka Allah belum menetapkan hukumnya. Oleh
karena itu umat islam,khususnya para mujtahid, dituntut untuk menetapkannya
melalui ijtihad. Hasil dari ijtihad yang dilakukan itu merupakan hukum Allah
bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihad itu berbeda-beda.
Ketiga konsep di atas memberikan pemahaman bahwa ajaran
Islam mentolelir adanya perbedaan dalam pemahaman maupun pengalaman. Yang
mutlak itu hanyalah Allah dan firman-fiman-Nya,sedangkan interpretasi terhadap
firman-firman itu bersifat relatif. Karena itu sangat dimungkinkan untuk
terjadi perbedaan. Perbedaan tidak harus melahirkan pertentangan dan
permusuhan. Di sini konsep Islam tentang Islah diperankan untuk menyelesaikan
pertentangan yang terjadi sehingga tidak menimbulkan permusuhan, dan apabila
telah terjadi, maka islah diperankan untuk menghilangkannya dan menyatukan
kembali orang atau kelompok yang saling bertentangan.
Kerja sama antar umat beragama
Memahami dan mengaplikasikan ajaran Islam dalam kehidupan
masyarakat tidak selalu hanya dapat diharapkan dalam kalangan masyarakat
muslim. Islam dapat diaplikasikan dalam masyarakat manapun, sebab secara
esensial ia merupakan nilai yang bersifat universal. Kendatipun dapat dipahami
bahwa Isalam yang hakiki hanya dirujukkan kepada konsep al-quran dan
As-sunnah, tetapi dampak sosial yanag lahirdari pelaksanaan ajaran isalam
secara konsekwen ddapat dirasakan oleh manusia secara keseluruhan.
Demikian pula pada tataran yang lebih luas, yaitu kehidupan
antar bangsa,nilai-nilai ajaran Islam menjadi sangat relevan untuk
dilaksanakan guna menyatukan umat manusia dalam suatu kesatuan kkebenaran dan
keadilan. Dominasi salah satu etnis atau negara merupakan pengingkaran
terhadap makna Islam, sebab ia hanya setia pada nilai kebenaran dan keadilan
yang bersifat universal. Universalisme Islam dapat dibuktikan anatara lain
dari segi, dan sosiologo. Dari segi agama, ajaran Islam menunjukkan
universalisme dengan doktrin monoteisme dan prinsip kesatuan alamnya. Selain
itu tiap manusia, tanpa perbedaan diminta untuk bersama-sama menerima satu
dogma yang sederhana dan dengan itu ia termasuk ke dalam suatu masyarakat yang
homogin hanya denga tindakan yang sangat mudah ,yakni membaca syahadat. Jika
ia tidak ingin masuk Islam, tidak ada paksaan dan dalam bidang sosial ia tetap
diterima dan menikmati segala macam hak kecuali yang merugikan umat Islam.
Ditinjau dari segi sosiologi, universalisme Islam
ditampakkan bahwa wahyu ditujukan kepada semua manusia agar mereka menganut
agama islam, dan dalam tingkat yang lain ditujukan kepada umat Islam secara
khususu untuk menunjukan peraturan-peraturan yang harus mereka ikuti. Karena
itu maka pembentukan masyarakat yang terpisah merupakan suatu akibat wajar
dari ajaran Al-Qur’an tanpa mengurangi universalisme Islam. Melihat
Universalisme Islam di atas tampak bahwa esensi ajaran Islam terletak pada
penghargaan kepada kemanusiaan secara univarsal yang berpihak kepada
kebenaran, kebaikan,dan keadilan dengan mengedepankan kedamaian.;menghindari
pertentangan dan perselisian, baik ke dalam intern umat Islam maupun ke luar.
Dengan demikian tampak bahwa nilai-nilai ajaran Islam menjadi dasar bagi
hubungan antar umat manusia secara universal dengan tidak mengenal suku,bangsa
dan agama. Hubungan antara muslim dengan penganut agama lain tidak dilarang
oleh syariat Islam, kecuali bekerja sama dalam persoalan aqidah dan ibadah.
Kedua persoalan tersebut merupakan hak intern umat Islam yang tidak boleh
dicamputi pihak lain, tetapi aspek sosial kemasyarakatan dapat bersatu dalam
kerja samayang baik.
Kerja sama antar umat bergama merupakan bagian dari
hubungan sosial anatar manusia yang tidak dilarang dalam ajaran Islam.
Hubungan dan kerja sama ydalam bidang-bidang ekonomi, politik, maupun budaya
tidak dilarang, bahkan dianjurkan sepanjang berada dalam ruang lingkup
kebaikan.
C. Kendala-Kendala
a.
Rendahnya Sikap
Toleransi
Menurut Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam komunikasi
antar agama sekarang ini, khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap
toleransi malas-malasan (lazy tolerance) sebagaimana diungkapkan P. Knitter.
Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola perjumpaan tak langsung (indirect
encounter) antar agama, khususnya menyangkut persoalan teologi yang sensitif.
Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah
keimanan. Tentu saja, dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik
pihak yang berbeda keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu sama lain.
Masing-masing agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan
satu sama lain bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang
terjadi hanyalah perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya.
Sehingga dapat menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa pihak yang
berbeda agama, maka akan timbullah yang dinamakan konflik.
b.
Kepentingan Politik
Faktor Politik, Faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai
kendala dalam mncapai tujuan sebuah kerukunan anta umat beragama khususnya di
Indonesia, jika bukan yang paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa
saja sebuah kerukunan antar agama telah dibangun dengan bersusah payah selama
bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian kita pun
hampir memetik buahnya. Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut
memengaruhi hubungan antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar
yang dengan mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan.
Seperti yang sedang terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis
melihat political upheavels di negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir
bukan lagi air mata, tetapi darah; darah saudara-saudara kita, yang
mudah-mudahan diterima di sisi-Nya. Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara
tertib teratur dan bahkan tidak mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan
alasan politik juga kita seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya.
c.
SikapFanatisme
Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan
berkembang. Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang
pemahaman keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan
fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan
tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan
situasi dan kondisi masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah
satu-satunya agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika
orang ingin selamat, ia harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang
non-Muslim, menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah.
D.
Solusi
Dialog Antar Pemeluk
Agama
Sejarah perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka politik
secara tipikal hampir keseluruhannya dipenuhi pergumulan, konflik dan
pertarungan. Karena itulah dalam perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa
dasawarsa terakhir, sejarah yang berpusat pada politik yang kemudian disebut
sebagai “sejarah konvensional” dikembangkan dengan mencakup bidang-bidang
kehidupan sosial-budaya lainnya, sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai
“sejarah baru” (new history). Sejarah model mutakhir ini lazim disebut sebagai “sejarah
sosial” (social history) sebagai bandingan dari “sejarah politik” (political
history). Penerapan sejarah sosial dalam perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia akan sangat relevan, karena ia akan dapat mengungkapkan sisi-sisi
lain hubungan para penganut kedua agama ini di luar bidang politik, yang sangat
boleh jadi berlangsung dalam saling pengertian dan kedamaian, yang pada
gilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara damai (peaceful co-existence) di
antara para pemeluk agama yang berbeda.
Hampir bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga
agama-agama lain) akan terus meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan
peningkatan globalisasi, revolusi teknologi komunikasi dan transportasi, kita
akan menyaksikan gelombang perjumpaan agama-agama dalam skala intensitas yang
tidak pernah terjadi sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak ada lagi suatu
komunitas umat beragama yang bisa hidup eksklusif, terpisah dari lingkungan
komunitas umat-umat beragama lainnya. Satu contoh kasus dapat diambil: seperti
dengan meyakinkan dibuktikan Eck (2002), Amerika Serikat, yang mungkin oleh
sebagian orang dipandang sebagai sebuah “negara Kristen,” telah berubah menjadi
negara yang secara keagamaan paling beragam. Saya kira, Indonesia, dalam batas
tertentu, juga mengalami kecenderungan yang sama. Dalam pandangan saya,
sebagian besar perjumpaan di antara agama-agama itu, khususnya agama yang
mengalami konflik, bersifat damai. Dalam waktu-waktu tertentu―ketika terjadi
perubahan-perubahan politik dan sosial yang cepat, yang memunculkan krisis―
pertikaian dan konflik sangat boleh jadi meningkat intensitasnya. Tetapi hal
ini seyogyanya tidak mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian lebih sering
menjadi feature utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat saya, banyak
bersumber dari pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau
bidang-bidang yang secara longgar dapat disebut sebagai “non-agama.” Bahkan
terjadi juga pertukaran yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan
keagamaan melalui dialog-dialog antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat
domestik di Indonesia maupun pada tingkat internasional; ini jelas memperkuat
perjumpaan secara damai tersebut. Melalui berbagai pertukaran semacam ini
terjadi penguatan saling pengertian dan, pada gilirannya, kehidupan
berdampingan secara damai.
Bersikap Optimis
Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap
terbuka, saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita
tidak perlu bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya
mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan menyongsong masa depan dialog.
Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap optimis. Pertama,
pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog
antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di
dalam maupun di luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN
dan Seminari misalnya, di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga
telah didirikan Pusat Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur
jagung, hal itu bisa menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan
paham keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga
bermunculan lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di
Yogyakarta, yang memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme
agama dan kerukunan antarpenganutnya.
Kedua, para pemimpin masing-masing
agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru dalam melihat hubungan
antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik secara reguler maupun
insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan memecahkan berbagai
problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini. Kesadaran
semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama, tetapi
juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput sehingga tidak terjadi
jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya. Kita seringkali
prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman keagamaannya bahkan bertentangan
dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah kesalahan kita bersama. Kita lebih
mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas
pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta
kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Ketiga, masyarakat kita sebenarnya
semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau provokasi-provokasi. Mereka tidak
lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun
kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun berkali-kali masjid
dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa
membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan ujian
bagi agama autentik (authentic religion) dan penganutnya. Adalah tugas kita
bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk
mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak memakai agama
sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba
antarpenganut agama.
Jika tiga hal ini bisa
dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka
setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat
berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih
sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.
Dari pembahasan dalam makalah ini, dapat kami simpulkan berbagai
macam bahasan mengenai kerukunan antar umat beragama, yaitu : Kendala-kendala
yang dihadapi dalam mencapai kerukunan umat beragama di Indonesia ada beberapa
sebab, antara lain;
Ø Rendahnya
Sikap Toleransi
Ø
Kepentingan Politik dan ;
Ø
SikapFanatisme
Adapun solusi
untuk menghadapinya, adalah dengan melakukanDialog Antar Pemeluk Agama dan
menanamkan Sikap Optimis terhadap tujuan untuk mencapai kerukunan antar umat
beragama.
E. Manfaat
Kerukunan Umat Beragama
Umat
Beragama Diharapkan Perkuat Kerukunan Jika agama dapat dikembangkan sebagai
faktor pemersatu maka ia akan memberikan stabilitas dan kemajuan negara
Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni berharap dialog antar-umat beragama dapat memperkuat kerukunan beragama dan menjadikan agama sebagai faktor pemersatu dalam kehidupan berbangsa.
Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni berharap dialog antar-umat beragama dapat memperkuat kerukunan beragama dan menjadikan agama sebagai faktor pemersatu dalam kehidupan berbangsa.
"Sebab
jika agama dapat dikembangkan sebagai faktor pemersatu maka ia akan memberikan
sumbangan bagi stabilitas dan kemajuan suatu negara," katanya dalam
Pertemuan Besar Umat Beragama Indonesia untuk Mengantar NKRI di Jakarta,
Rabu. Pada pertemuan yang dihadiri
tokoh-tokoh agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu itu
Maftuh menjelaskan, kerukunan umat beragama di Indonesia pada dasarnya telah
mengalami banyak kemajuan dalam beberapa dekade terakhir namun beberapa
persoalan, baik yang bersifat internal maupun antar-umat beragama, hingga kini
masih sering muncul. Menurut dia,
kondisi yang demikian menunjukkan bahwa kerukunan umat beragama tidak bersifat
imun melainkan terkait dan terpengaruh dinamika sosial yang terus berkembang.
"Karena itu upaya memelihara kerukunan harus dilakukan secara
komprehensif, terus-menerus, tidak boleh berhenti," katanya.
Dalam
hal ini, Maftuh menjelaskan, tokoh dan umat beragama dapat memberikan
kontribusi dengan berdialog secara jujur, berkolaborasi dan bersinergi untuk
menggalang kekuatan bersama guna mengatasi berbagai masalah sosial termasuk
kemiskinan dan kebodohan.
Ia juga mengutip perspektif pemikiran Pendeta Viktor Tanja yang menyatakan bahwa misi agama atau dakwah yang kini harus digalakkan adalah misi dengan tujuan meningkatkan sumber daya insani bangsa, baik secara ilmu maupun karakter. "Hal itu kemudian perlu dijadikan sebagai titik temu agenda bersama lintas agama," katanya Mengelola kemajemukan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin mengatakan masyarakat Indonesia memang majemuk dan kemajemukan itu bisa menjadi ancaman serius bagi integrasi bangsa jika tidak dikelola secara baik dan benar. "Kemajemukan adalah realita yang tak dapat dihindari namun itu bukan untuk dihapuskan. Supaya bisa menjadi pemersatu, kemajemukan harus dikelola dengan baik dan benar," katanya. Ia menambahkan, untuk mengelola kemajemukan secara baik dan benar diperlukan dialog berkejujuran guna mengurai permasalahan yang selama ini mengganjal di masing-masing kelompok masyarakat.
Ia juga mengutip perspektif pemikiran Pendeta Viktor Tanja yang menyatakan bahwa misi agama atau dakwah yang kini harus digalakkan adalah misi dengan tujuan meningkatkan sumber daya insani bangsa, baik secara ilmu maupun karakter. "Hal itu kemudian perlu dijadikan sebagai titik temu agenda bersama lintas agama," katanya Mengelola kemajemukan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin mengatakan masyarakat Indonesia memang majemuk dan kemajemukan itu bisa menjadi ancaman serius bagi integrasi bangsa jika tidak dikelola secara baik dan benar. "Kemajemukan adalah realita yang tak dapat dihindari namun itu bukan untuk dihapuskan. Supaya bisa menjadi pemersatu, kemajemukan harus dikelola dengan baik dan benar," katanya. Ia menambahkan, untuk mengelola kemajemukan secara baik dan benar diperlukan dialog berkejujuran guna mengurai permasalahan yang selama ini mengganjal di masing-masing kelompok masyarakat.
"Karena
mungkin masalah yang selama ini terjadi di antara pemeluk agama terjadi karena
tidak sampainya informasi yang benar dari satu pihak ke pihak lain. Terputusnya
jalinan informasi antar pemeluk agama dapat menimbulkan prasangka- prasangka
yang mengarah pada terbentuknya penilaian negatif," katanya. Senada dengan
Ma'ruf, Ketua Konferensi Waligereja Indonesia Mgr.M.D Situmorang, OFM. Cap
mengatakan dialog berkejujuran antar umat beragama merupakan salah satu cara
untuk membangun persaudaraan antar- umat beragama. Menurut dia, tema dialog antar-umat beragama
sebaiknya bukan mengarah pada masalah theologis, ritus dan cara peribadatan
setiap agama melainkan lebih ke masalah- masalah kemanusiaan. "Dalam hal
kebangsaan, sebaiknya dialog difokuskan ke moralitas, etika dan nilai
spiritual," katanya. Ia juga menambahkan, supaya efektif dialog antar-umat
beragama mesti "sepi" dari latar belakang agama yang eksklusif dan
kehendak untuk mendominasi pihak lain. "Sebab untuk itu butuh relasi
harmonis tanpa apriori, ketakutan dan penilaian yang dimutlakkan. Yang harus
dibangun adalah persaudaraan yang saling menghargai tanpa kehendak untuk
mendominasi dan eksklusif," katanya.
Menurut Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Budi S Tanuwibowo,
agenda agama-agama ke depan sebaiknya difokuskan untuk menjawab tiga persoalan
besar yang selama ini menjadi pangkal masalah internal dan eksternal umat
beragama yakni rasa saling percaya, kesejahteraan bersama dan penciptaan rasa
aman bagi masyarakat. "Energi dan militansi agama seyogyanya diarahkan
untuk mewujudkan tiga hal mulia itu," demikian Budi S Tanuwibowo.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
KESIMPULAN
Kerukunan antar umat beragama dibedakan menjadi dua yaitu:
Kerukunan umat
beragama antar sesama manusia dan Kerukunan umat agama menurut islam.
Kerukunan umat beragama antar sesama manusia yaitu Hubungan sesame umat beragama dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dan kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sedangkan, Kerukunan antar umat beragama menurut islam yaitu Ukhuwah Islamiyah yang berarti gambaran tentang hubungan antara orang-orang islam sebagai salah satu ikatan persaudaraan, dimana antara yang satu dengan yang lainnya seakan akan berada dalam satu ikatan.
beragama antar sesama manusia dan Kerukunan umat agama menurut islam.
Kerukunan umat beragama antar sesama manusia yaitu Hubungan sesame umat beragama dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dan kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sedangkan, Kerukunan antar umat beragama menurut islam yaitu Ukhuwah Islamiyah yang berarti gambaran tentang hubungan antara orang-orang islam sebagai salah satu ikatan persaudaraan, dimana antara yang satu dengan yang lainnya seakan akan berada dalam satu ikatan.
SARAN
Perlunya sikap
toleransi yang harus kita kembangkan dalam kehidupan beragama, maupun
bermasyarakat agar mencapai kehidupan harmonis, rukun dan sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
www.scribd.com/.../Makalah-Kerukunan-Antar-Umat-Beragama
- Tembolok - Mirip
http://dinaeni.wordpress.com/2012/01/08/kerukunan-umat-beragama/
0 komentar:
Posting Komentar