Makalah Kebudayaan Aceh
Ilmu Budaya Dasar
|
||||
| ||||
|
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan Puji Syukur kehadirat ALLAH SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Kebudayaan
Aceh” tepat pada waktunya.
Makalah ini menjelaskan tentang apa itu Kerukunan umat beragama, dan apa
kendala-kendalanya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat di kehidupan masyarakat
baik bagi penulis maupun pembaca. Selesainya penulisan makalah ini semata-mata
berkat bantuan dari berbagai pihak, yang telah memberikan dukungan dalam
berbagai bentuk kepada penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang terlibat dalam penulisan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan,
untuk itu penulis berharap kritik dan saran dari para pembaca, guna
menyempurnakan makalah ini.
Depok,
13 Maret 2013
Penulis
(Maydhi Wiratamara Nursholehah)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Indonesia terdiri dari
beribu-ribu suku bangsa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Masing-masing mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda. Pengertian budaya itu
sendiri ialah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Perkembangan suatu budaya
dari suatu bangsa di pengaruhi oleh perkembangan intelektualitas dan perilaku
social masyarakatnya. Sehingga budaya itu sendiri tidak dapat terhindar dari
perubahan mengikuti perkembangan zaman.
Namun perubahan tersebut
harus tetap mempertahankan nilai dasar budaya itu sendiri sehingga tetap
terjaga kemurniaanya. Salah
satu budaya yang akan kami kaji lebih dalam kali ini ialah Kebudayaan Aceh. Di
mana Aceh merupakan salah satu Daerah Istimewa di Indonesia. Selain out rakyat
Aceh menjadikan ajaran Islam sebagai dasar yang mengatur kehidupan. Tak heran
daerah ini terkenal dengan sebutan “Serambi Mekkah”.
Pada masa penjajahan,
semangat dan peranaan rakyat Aceh sangat besar dalam mengusir penjajah.
Walaupun hanya dengan senjata tradisional seperti Rencong, mereka tak gentar
melawan penjajah. Hal inilah yang membuat Aceh mendapat seutan “Tanah Rencong”.
Lalu seperti apakah kehidupan rakyat Aceh sehari-harinya? Apa sajakah produk
budaya dan kesenian Aceh? Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan dalam Bab
selanjutnya.
B.
TUJUAN PEMBAHASAN
o Mengetahui lebih dalam Kebudayaan Aceh
o Mengetahui Identifikasi Geografi Aceh
o Memahami sejarah Aceh
o
Mampu
mengidentifikasi Pemerintahan dan Demografi Aceh
o Mengetahui perkembangan perekonomian Aceh
o Mengenal sistem kekerabatan dan kemasyarakatan
Aceh
o Mengetahui produk budaya dan keadaan Keagamaan
di Aceh
o Mengetahui pembangunan dan modernisasi di Aceh
o Menambah rasa nasionalisme terhadap bangsa
o Menambah pengetahuan akan khasanah budaya
bangsa
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. IDENTIFIKASI
GEOGRAFI
Nanggroe Aceh Darussalam, provinsi paling barat
Indonesia, diapit oleh Samudera Hindia dan Selat Malaka, merupakan batas akhir
Indonesia. Letaknya amat strategis sebagai pintu masuk ke Nusantara dan
sebagian negara Asia lainnya. Meliputi daratan seluas 55.390 m2 termasuk
ratusan pulau-pulau lepas pantai sepanjang pantai barat. Di tengah-tengahnya
terdapat pengunungan Bukit Barisan yang dikelilingi oleh hutan hujan yang padat
dan puncak Geureudong (2.595 m), Peuet Sago (2.780 in), Bumi Telong (2.566 m),
Ucop Molu (3.187 m), Abong-abong (3.015 m), Leuser (3.466 m), Seulawah Agam
(1.782 m) dan Seulawah Inong (866 m).
Aceh memiliki wilayah seluas 57.365,57 km2,
yang terdiri atas kawasan hutan lindung 26.440,81 km2, kawasan hutan budidaya
30.924,76 km2 dan ekosistem Gunung Leuser seluas 17.900 km2, dengan puncak
tertinggi pada 4.446 m diatas permukaan laut. Adapun batas-batasnya yaitu :
o Sebelah utara dengan Laut Andaman
o Sebelah timur dengan Selat Melaka
o Sebelah selatan dengan Provinsi Sumatera Utara
o Sebelah barat dengan Samudra Hindia.
o Daerah Melingkupi : 119 Pulau, 35 Gunung, 73
Sungai
o Nanggroe (Banyaknya Dati II): 21 Kabupaten
o Banyaknya Kecamatan : 228
o Mukim : 642
o Kelurahan : 111
o Gampong (Desa) : 5947
Ibukota dan bandar terbesar di Aceh ialah Banda
Aceh. Bandar besar lain ialah seperti Sabang, Lhokseumawe, dan Langsa. Aceh
merupakan kawasan yang paling parah dilanda gempa bumi 26 Desember 2004.
B. SEJARAH ACEH
Abad Cina pada awal 6 M telah menyatakan
kewujudan sebuah kerajaan di bagian ujung utara pulau Sumatra yang mereka
kenali sebagai Po-Li. Dibandingkan dengan kawasan-kawasan [di Indonesia] yang
lain, Aceh merupakan daerah pertama yang mempunyai hubungan langsung dengan
dunia luar.
Aceh memiliki sebuah sejarah yang lama. Aceh
memainkan peranan penting dalam tranformasi yang dijalani daerah ini sejak
berdirinya. Marco Polo, pada 1292, sewaktu dalam pelayaran ke Parsi dari China
telah singgah ke Sumatra. Beliau melaporkan terdapat enam pelabuhan yang sibuk
di bagian utara pulau tersebut. Mereka termasuk perlabuhan Perlak, Samudera dan
Lamuri.
Kerajaan Islam pertama yang berdiri di Aceh
adalah Kerajaan Perlak pada tahun 840 M (225 H). Sultan pertama Kerajaan Perlak
yang terpilih adalah Saiyid Maulana Abdul-Aziz Syah (peranakan Arab Quraisy
dengan puteri Meurah Perlak) yang bergelar Sultan Alaiddin Saiyid Maulana
Abdul-Aziz Syah. Kerajaan ini berdiri sekitar 40 tahun setelah Islam tiba di
Bandar Perlak yang dibawa oleh saudagar dari Teluk Kambey(Gujarat) pimpinan
Nakhuda Khalifah. Kerajaan inilah yang kemudian dikenal sebagai kerajaan Islam
pertama di Nusantara.
Penguasaan pelabuhan di Malaka oleh Portugis
pada 1511 telah menyebabkan banyak pedagang Arab dan India memindahkan
perdagangan mereka ke Aceh. Kedatangan mereka membawa kekayaan dan kemakmuran
kepada Aceh, dan menandakan mulanya penguasaan Aceh dalam perdagangan dan
politik di utara pulau Sumatra khususnya dan Nusantara umumnya. Keadaan ini
bertahan hingga ia mencapai puncaknya antara tahun 1610 dan 1640.
Kemunduran Aceh bermula sejak kemangkatan
Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641 disebabkan penguasaan perdagangan oleh
Inggeris dan Belanda. Ini juga menyebabkan mereka berlumba-lumba menguasai
sebanyak-banyaknya kawasan di Nusantara untuk kegiatan perdagangan mereka.
Perjanjian London 1824 yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan
kepada Belanda untuk menguasai segala kawasan British di Sumatra sementara
Belanda akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga
berjanji tidak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura.
Belanda telah mendapati lebih sukar untuk melawan Aceh dari apa yang mereka sangkakan. Perang Aceh, yang berlansung dari 1873 hingga 1942 (tetapi tidak berlanjut-lanjut), merupakan sebuah peperangan paling lama dihadapi oleh Belanda dan merenggut lebih 10,000 orang tentara.
Belanda telah mendapati lebih sukar untuk melawan Aceh dari apa yang mereka sangkakan. Perang Aceh, yang berlansung dari 1873 hingga 1942 (tetapi tidak berlanjut-lanjut), merupakan sebuah peperangan paling lama dihadapi oleh Belanda dan merenggut lebih 10,000 orang tentara.
Pasca-pencabutan Daerah Operasi Militer (DOM),
atau sering dikenal dengan Operasi Jaring Merah, pada 7 Agustus 1998 yang sudah
berlangsung selama 10 Tahun sejak 1989, tuntutan kemerdekaan Aceh yang
disuarakan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kian bergema. Selain itu, muncul
tuntutan pungutan suara sebagai akumulasi kekecewaan rakyat Aceh pada
pemerintah Jakarta. Tuntutan itu digerakkan oleh para intelektual muda Aceh
yang terhimpun dalam Organisasi Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA).
SIRA yang didirikan di Banda Aceh pada 4 Februari 1999 berhasil mengakomodasi keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri. Misalnya tercermin dalam aksi kolosal yang dibuat oleh SIRA pada 8 November 1999 yang dihadiri oleh 2 Juta rakyat Aceh dari berbagai kabupaten di Aceh. SIRA yang dipimpin oleh Muhammad Nazar berhasil memobilisir perjuangan rakyat Aceh, untuk mendapatkan hak-haknya sebagai sebagai sebuah bangsa.
SIRA yang didirikan di Banda Aceh pada 4 Februari 1999 berhasil mengakomodasi keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri. Misalnya tercermin dalam aksi kolosal yang dibuat oleh SIRA pada 8 November 1999 yang dihadiri oleh 2 Juta rakyat Aceh dari berbagai kabupaten di Aceh. SIRA yang dipimpin oleh Muhammad Nazar berhasil memobilisir perjuangan rakyat Aceh, untuk mendapatkan hak-haknya sebagai sebagai sebuah bangsa.
Keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib
sendiri semakin bergema dengan kelahiran berbagai organisasi perlawanan rakyat
di Aceh, seperti KARMA, Farmidia, SMUR, FPDRA, SPURA, PERAK, dan HANTAM, yang
lahir dengan mengusung berbagai macam isu. HANTAM misalnya, dengan mengusung
isu Antimiliterisme berhasil membuat sebuah aksi yang spektakuler pada tahun
2002, dengan aksi yang paling fenomenal, karena dalam aksinya mereka menuntut
gencatan senjata antara RI dan GAM. Selain itu HANTAM dalam aksinya mengusung
empat bendera, seperti bendera GAM, RI, Referendum dan Bendera PBB. Aksi yang
berlangsung pada 6 Mei 2002 itu berakhir dengan penangkapan semua peserta aksi
HANTAM seperti Taufik Al Mubarak, Muhammmad MTA, Asmara, Askalani, Imam,
Habibir, Ihsan, dan beberapa orang lagi. Aksi itu memberikan makna khusus bahwa
campurtangan PBB untuk memediasi konflik Aceh tak dapat ditolak.
C.
IDENTIFIKASI
GEOGRAFI
Di Aceh terdapat beberapa subsuku yaitu Aceh
sebagai mayoritas yang mendiami sebagian besar kawasan Aceh, Gayo mendiami Aceh
Tengah dan sebagian Aceh Tenggara, Alas mendiami Aceh Tenggara, Tamiang
mendiami sebagian Aceh Timur, Kluet dan Aneuk Jamee mendiami sebagian Aceh
Selatan.
D.
PEREKONOMIAN
a) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Perekonomian Aceh sangat bergantung pada sektor pertambangan1
(termasuk minyak dan gas), yang menyumbangkan 23 persen PDB pada tahun 2005.
Industri manufaktur, yang menyumbangkan 22 persen dari PDB sangat dipengaruhi
oleh ketersedian gas dengan harga yang relatif murah. Pada tahun 2005,
perekonomian Aceh menurun sebesar 13 persen. Hal ini terutama disebabkan karena
penurunan produksi pada sektor pertambangan, pertanian dan industri manufaktur.
b) Lapangan Pekerjaan
Permasalahan
lapangan kerja baru masih merupakan tantangan utama di Aceh. Pengangguran
meningkat dari 6 persen pada tahun 2000 menjadi 12 persen pada tahun 2006.
Kenaikan upah juga terjadi, yang disebabkan oleh kombinasi dari ke empat faktor
berikut ini:
o Kekurangan pasokan jenis-jenis tenaga kerja
tertentu yang banyak diperlukan2 (pekerja konstruksi yang semi-terampil)
o Kurangnya mobilitas populasi menciptakan
kurangnya tenaga kerja di wilayah-wilayah tertentu, seperti yang tercermin dari
tingginya aliran tenaga kerja bidang konstruksi dari Sumatra Utara
o Kenaikan upah menyusul laju infl
asi yang tinggi untuk melindungi daya beli para pekerja; dan
o Tersedianya jaring pengaman
sosial secara meluas oleh LSM dan donor yang berakibat membuat orang-orang
tidak terdorong untuk mencari pekerjaan berupah rendah secara aktif. Sektor
pertanian masih merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja yang terbesar, pada
tahun 2006. Sektor ini menyerap 56 persen dari tenaga kerja, namun sector jasa
(termasuk konstruksi) pada saat ini mempekerjakan 38 persen dari keseluruhan
angkatan kerja. Penurunan lapangan kerja secara keseluruhan sejak tahun 2003
terutama disebabkan oleh penurunan lapangan kerja pada sektor pertanian.
c) Perdagangan
o Ekspor
Ekspor Aceh sangat bergantung pada gas alam (Liquid Natural
Gas–LNG). Ekspor non-migas didominasi oleh industri-industri yang bergantung
pada ketersediaan gas dengan harga murah. Konflik yang berkepanjangan juga
menyebabkan menurunnya produksi gas dan ketidakpastian kebijakan pemerintah
terhadap penyubsidian gas menyebabkan penurunan ekspor industri non-migas
secara dramatis.
Dua perusahaan produsen pupuk telah mengurangi produksinya
secara signifi kan sejak awal dekade ini, kedua perusahaan ini adalah PT Pupuk
Iskandar Muda pada tahun 2001 dan PT Aceh Asean Fertilizer pada tahun 2005.
Ekspor komoditas juga menurun. Produk-produk pertanian dan perikanan diharapkan
merupakan alternative utama yang dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekspor.
Namun, sejak tahun 2000 ekspor mengalami penurunan walaupun harga dan
permintaan internasional meningkat.
o Impor
Impor meningkat secara substansial setelah tsunami, dari US$
12,9 juta pada tahun 2004 menjadi US$ 18,5 juta pada tahun 2006. Sebagian besar
hal ini disebabkan dari upaya-upaya rekonstruksi dan juga meningkatnya
konsumsi.
E.
SISTEM KEMASYARAKATAN DAN KEKERABATAN
a. Sejarah Masyarakat Aceh
Pada waktu masih sebagai sebuah kerajaan, yang dimaksud
dengan Aceh adalah wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Aceh Besar, yang
di dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk, yaitu salah satu kabupaten atau
daerah tingkat II di Nanggroe Aceh Darussalam.
Semasa masih sebagai kerajaan, Aceh Rayeuk (Aceh Besar)
merupakan inti Kerajaan Aceh (Aceh Proper) dan telah menyebarkan sebagian
penduduknya ke darah-daerah lain di sekitarnya (daerah takluk) yang oleh
Belanda dinamakan Onderhorigheden.
Sebutan Aceh juga digunakan oleh orang-orang di daerah takluk di luar Aceh Rayeuk (Aceh Besar) dalam wilayah Kerajaan Aceh untuk menyebut nama ibukota kerajaan yang sekarang bernama Banda Aceh.Mereka yang mendiami pesisir Timur seperti Pidie, Aceh Utara hingga Aceh Timur, dan Pesisir Barat dan Selatan, jika mau ke ibukota kerajaan (Banda Aceh) mengatakan mau pergi ke Aceh.
Sebutan Aceh juga digunakan oleh orang-orang di daerah takluk di luar Aceh Rayeuk (Aceh Besar) dalam wilayah Kerajaan Aceh untuk menyebut nama ibukota kerajaan yang sekarang bernama Banda Aceh.Mereka yang mendiami pesisir Timur seperti Pidie, Aceh Utara hingga Aceh Timur, dan Pesisir Barat dan Selatan, jika mau ke ibukota kerajaan (Banda Aceh) mengatakan mau pergi ke Aceh.
Sebutan ini masih ada yang menggunakannya sampai sekarang.
Selain sebagai nama daerah, Aceh juga merupakan nama salah satu suku bangsa
atau etnis sebagai penduduk asli yang mendiami Provinsi Nanggroe Aceh
Darusssalam.
Di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam sekarang terdapat 20
daerah tingkat II yang didiami oleh delapan kelompok etnis, yaitu etnis Aceh,
Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil. Semua etnis in
adalah penduduk asli yang dalam istilah Belanda disebut inlander (penduduk
pribumi) Setiap suku tersebut memiliki kekhasan tersendiri seperti bahasa,
sastra, nyanyian, tarian, musik dan adat istiadat.
Para pendatang luar (orang-orang asing) yang pernah
mengunjungi Aceh sewaktu masih sebahai sebuah kerajaan menyebutkan dengan nama
beragam. Orang Portugis misalnya menyebut dengan nama Achen dan Achem, orang
Inggris menyebut Achin, orang Perancis menamakan Achen dan Acheh, orang Arab
menyebut Asyi, sementara orang Belanda menamakan Atchin dan Acheh. Orang Aceh
sendiri menyebut dirinya dengan nama Ureung Aceh (orang Aceh).
b. Sistem Kemasyarakatan
Etnis Aceh dibagi ke dalam empat kawom (kaum) atau sukee
(suku). Pembagian ini mulai dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Alaaidin
Al-Kahar (1530-1552). Keempat kawom atau sukee tersebut, yaitu
I.
Kawom atau sukee lhee reutoh (kaum atau suku tiga ratus). Mereka berasal
dari orang-orang Mante-Batak sebagai penduduk asli.
II.
Kawom atau sukee imuem peut (kaum atau suku imam empat). Mereka berasal
dari orang-orang Hindu atau India sebagai pendatang.
III.
Kawom atau sukee tol Batee (kaum atau suku yang mencukupi batu). Mereka
bersal dari berbagai etnis, pendatang dari baerbagai tempat.
IV.
Kawom atau sukee Ja Sandang (kaum atau suku penyandang). Mereka adalah
para imigran Hindu yang telah memeluk agama Islam.
Pada awalnya, akibat
asal-usul yang berbeda, keempat kawom ini seringkali terlibat dalam konflik
internal. Kawom-kawom ini sampai sekarang masih merupakan dasar masyarakat Aceh
dan solidaritas sesama kawom cukup tinggi. Mereka loyal kepada pimpinannya.
Semua keputusan atau tindakan yang akan diambil selalu melibatkan pimpinan dan
orang-orang yang dituakan dalam kawom-kawom tersebut.
Untuk memelihara tumbuhnya
adat istiadat Aceh, ada dua kawasan yang perlu diprogramkan pengembangan
apresiasi adat, dimana para tokoh adat (leading) sektor dengan perangkatnya
amat berperan di dalamnya, yaitu kawasan Gampong dan kawasan Mukim:
o Gampong: Kesatuan masyarakat hukum yang
merupakan organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah mukim yang
menempati wilayah tertentu, dipimpin oleh Keuchik dan yang berhak
menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Keuchik adalah Kepala Badan
Eksekutif Gampong dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong (Qanun, No.5 Tahun
2003)
o Mukim: kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang
mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan
langsung di bawah Camat yang dipimpin oleh Imeum Mukim. Imeum Mukim adalah
Kepala Pemerintahan Mukim (Qanun No.4 Tahun 2003)
c.
Struktur Masyarakat
Berdasarkan pendekatan historis, lapisan masyarakat Aceh yang
paling menonjol dapat dikelompokkan pada dua golongan, yaitu golongan Umara dan
golongan Ulama. Umara dapat diartikan sebagai pemerintah atau pejabat pelaksana
pemerintah dalam satu unit wilayah kekuasaan.
Contohnya seperti jabatan Sultan yang merupakan pimpinan atau
pejabat tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, Uleebalang sebagai pimpinan
unit Pemerintah Nanggroe (negeri), Panglima Sagoe (Panglima Sagi) yang memimpin
unit pemerintahan Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintahan
Mukim dan Keuchiek atau Geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan
Gampong (kampung). Kesemua mereka atau pejabat tersebut di atas, dalam struktur
pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagai lapisan pemimpin adat,
pemimpin keduniawian, atau kelompok elite sekuler.
Sementara golongan Ulama yang menjadi pimpinan yang mengurusi
masalah-masalah keagamaan (hokum atau syariat Islam) dikenal sebagai pemimpin
keagamaan atau masuk kelompok elite religius, Oleh karena para ulama ini
mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah seorang yang
berilmu, yang dalam istilah Aceh disebut Ureung Nyang Malem. Dengan demikian tentunya
sesuai dengan predikat/sebutan ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu
atau para ahli pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok Ulama ini dapat
disebutkan, yaitu :
·
Tengku Meunasah, yang memimpin masalah-masalah yang berhubungan dengan
keagamaan pada satu unit pemerintah Gampong (kampung).
·
Imum Mukim (Imam Mukim), yaitu yang mengurusi maslah keagamaan pada
tingkat pemerintahan mukim, yang bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap
hari Jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim yang bersangkutan.
·
Qadli (kadli), yaitu orang yang memimpin pengadilan agama atau yang
dipandang menerti mengenai hokum agama pada tingkat kerjaan dan juga pada
tingkat Nanggroe yang disebut Kadli Uleebalang. Teungku-teungku, yaitu
pengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti dayah dan rangkang, juga
termasuk murid-muridnya. Bagi mereka yang sudah cukup tinggi tingkat
keilmuannya, disebut dengan istilah Teungku Chiek.
d. Pola Kehidupan Masyarakat Aceh
Pola kehidupan masyarakat Aceh diatur oleh hukum adat yang
berdasarkan kaidah kaidah hukum agama Islam. Adapun susunan masyarakat adalah
sebagai berikut
ü Golongan Rakyat Biasa; yang dalam istilah Aceh
disebut Ureung Le (orang banyak). Disebut demikian karena golongan ini
merupakan golongan yang paling banyak (mayoritas) dalam masyarakat adat Aceh.
ü Golongan Hartawan; yaitu golongan yang bekerja
keras dalam mengembangkan ekonomi pribadi. Dari pribadi-pribadi yang sudah
berada itulah terbentuknya suatu golongan masyarakat. Karena keberadaannya sehingga
mereka menjelma menjadi golongan hartawan. Golongan ini cukup berperan dalam
soal-soal kemasyarakatan khususnya sebagai penyumbang-penyumbang dana.
ü Golongan ulama/cendikiawan; umumnya mereka
berasal dari kalangan rakyat biasa yang memiliki ilmu pengetahuan yang
menonjol. Sehingga mereka disebut orang alim dengan gelar Teungku. Mereka cukup
berperan dalam masalah-masalah agama dan kemasyarakatan.
ü Golongan kaum bangsawan; termasuk didalamnya
keturunan Sultan Aceh yang bergelar "Tuanku" keturunan
"Uleebalang" yang bergelar "Teuku" (bagi laki-laki) dan
"Cut" (bagi perempuan).
e. Sistem
Kekerabatan
Adat Aceh dari masa istri dalam keadaan hamil sampai kepada
anaknya dikawinkan (Mampleue):
·
Meunineum biasa juga disebut Keumaweueh
·
Kelahiran Bayi
·
Upacara Adat Peucicap
·
Peusijuek Dapu dan Peutron Aneuk (Pada Hari Ke 44 Setelah Anak
Dilahirkan Yaitu Setelah Madeueng)
·
Peutron Aneuk
·
Menyerahkan Anak Ketempat Pengajian
·
Upacara Sunat Rasul (Khitan)
·
Upacara Adat dalam Menyelesaikan Persengketaan atau Perkelahian Antar
Anak-Anak.
·
Pertunangan Menjelang Pernikahan
·
Ba Ranub Kong Haba
·
Upacara Adat Perkawinan (Woe Linto)
·
Mampleue (Mempelai) Woe Linto
·
Upacara Sesudah Mampleue
·
Tueng Dara Baro
f. Produk Budaya
a. Bahasa
Orang Aceh mempunyai bahasa sendiri yakni bahasa Aceh, yang
termasuk rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Aceh terdiri dari beberapa dialek,
di antaranya dialek Peusangan, Banda, Bueng, Daya, Pase, Pidie, Tunong,
Seunagan, Matang, dan Meulaboh, tetapi yang terpenting ada;ah dialek Banda.
Dialaek ini dipakai di Banda Aceh. Dalam tata bahasanya, Bahasa Aceh tidak
mengenal akhiran untuk membentuk kata yang baru, sedangkan dalam sistem
fonetiknya, tanda eu kebanyakan dipakai tanda pepet (bunyi e).
Tradisi bahasa tulisan ditulis dalam huruf Arab-Melayu yang
disebut bahasa Jawi atau Jawoe, Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan
Melayu. Pada masa Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu pengetahuan agama,
pendidikan, dan kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi. Pada makam-makam raja
Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah datangnya Islam di
Aceh. Banyak orang-orang tua Aceh yang masih bisa membaca huruf Jawi.
b. Pakaian Adat dan Perhiasan Pengantin
Pengantin laki-laki (Linto baro) maupun pengantin perempuan (Dara Baro), keduanya sama-sama menggunakan baju, celana panjang dan sarung songket. Bahan dasar pakaian pengantin ini dahulu ditenun dengan benang sutera. Pada masa sekarang bahan pakaian banyak yang terbuat dari kain katun, nilon, planel dan sebagainya. Bagi pengantin laki-laki baju dan celana berwarna hitam, sedangkan pengantin perempuan baju berwarna merah atau kuning dengan celana panjang hitam.
Keureusang,
Keureusang (Kerosang/Kerongsang/Bros) adalah perhiasan yang memiliki ukuran panjang 10 Cm dan lebar 7,5 Cm. Perhiasan dada yang disematkan di baju wanita (sejenis bros) yang terbuat dari emas bertatahkan intan dan berlian. Bentuk keseluruhannya seperti hati yang dihiasi dengan permata intan dan berlian sejumlah 102 butir. Keureusang ini digunakan sebagai penyemat baju (seperti peneti) dibagian dada. Perhiasan ini merupakan barang mewah dan yang memakainya adalah orang-orang tertentu saja sebagai perhiasan pakaian harian.
Keureusang (Kerosang/Kerongsang/Bros) adalah perhiasan yang memiliki ukuran panjang 10 Cm dan lebar 7,5 Cm. Perhiasan dada yang disematkan di baju wanita (sejenis bros) yang terbuat dari emas bertatahkan intan dan berlian. Bentuk keseluruhannya seperti hati yang dihiasi dengan permata intan dan berlian sejumlah 102 butir. Keureusang ini digunakan sebagai penyemat baju (seperti peneti) dibagian dada. Perhiasan ini merupakan barang mewah dan yang memakainya adalah orang-orang tertentu saja sebagai perhiasan pakaian harian.
Patam Dhoe
adalah salah satu perhiasan dahi wanita Aceh. Biasanya dibuat dari emas ataupun
dari perak yang disepuh emas. Bentuknya seperti mahkota.
Patam
Dhoeterbuat dari perak sepuh emas. Terbagi atas tiga bagian yang satu sama
lainnya dihubungkan dengan engsel. Di bagian tengah terdapat ukuran kaligrafi
dengan tulisan-tulisan Allah dan di tengahnya terdapat tulisan Muhammad-motif
ini disebut Bungong Kalimah-yang dilingkari ukiran bermotif bulatan-bulatan
kecil dan bunga.
·
Peuniti
Seuntai Peuniti yang terbuat dari emas; terdiri dari tiga buah hiasan motif Pinto Aceh. Motif Pinto Aceh dibuat dengan ukiran piligran yang dijalin dengan motif bentuk pucuk pakis dan bunga. Pada bagian tengah terdapat motif boheungkot (bulatan-bulatan kecil seperti ikan telur). Motif Pinto Aceh ini diilhami dari bentuk pintu Rumah Aceh yang sekarang dikenal sebagai motif ukiran khas Aceh. Peuniti ini dipakai sebagai perhiasan wanita, sekaligus sebagai penyemat baju.
Seuntai Peuniti yang terbuat dari emas; terdiri dari tiga buah hiasan motif Pinto Aceh. Motif Pinto Aceh dibuat dengan ukiran piligran yang dijalin dengan motif bentuk pucuk pakis dan bunga. Pada bagian tengah terdapat motif boheungkot (bulatan-bulatan kecil seperti ikan telur). Motif Pinto Aceh ini diilhami dari bentuk pintu Rumah Aceh yang sekarang dikenal sebagai motif ukiran khas Aceh. Peuniti ini dipakai sebagai perhiasan wanita, sekaligus sebagai penyemat baju.
· Simplah
Simplah
merupakan suatu perhiasan dada untuk wanita. Terbuat dari perak sepuh emas.
Terdiri dari 24 buah lempengan segi enam dan dua buah lempengan segi delapan.
Setiap lempengan dihiasi dengan ukiran motif bunga dan daun serta permata merah
di bagian tengah. Lempengan-lempengan tersebut dihubungkan dengan dua untai
rantaiSimplah mempunayi ukuran Panjang sebesar 51 Cm dan Lebar sebesar 51 Cm.
·
Subang Aceh
Subang Aceh memiliki Diameter dengan ukuran 6 Cm. Sepasang Subang yang terbuat dari emas dan permata. Bentuknya seperti bunga matahari dengan ujung kelopaknya yang runcing-runcing. Bagian atas berupa lempengan yang berbentuk bunga Matahari disebut "Sigeudo Subang". Subang ini disebut juga subang bungong mata uro.
Subang Aceh memiliki Diameter dengan ukuran 6 Cm. Sepasang Subang yang terbuat dari emas dan permata. Bentuknya seperti bunga matahari dengan ujung kelopaknya yang runcing-runcing. Bagian atas berupa lempengan yang berbentuk bunga Matahari disebut "Sigeudo Subang". Subang ini disebut juga subang bungong mata uro.
·
Taloe Jeuem
Seuntai tali jam yang terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari rangkaian cincin-cincin kecil berbentuk rantai dengan hiasan be4ntuk ikan (dua buah) dan satu kunci. Pada ke dua ujung rantai terdapat kait berbentuk angka delapan. Tali jam ini merupakan pelengkap pakaian adat laki-laki yang disangkutkan di baju.
c. Tarian Tradisional
·
Saman
Tarian saman diciptakan dan dikembangkan oleh seorang tokoh Agama Islam bernama Syeh Saman. Syair saman dipergunakan bahasa Arab dan bahasa Aceh. Tarian ini tidak mempunyai iringan permainan, karena dengan gerakan-gerakan tangan dan syair yang dilagukan, telah membuat suasana menjadi gembira. Lagu-lagu (gerak-gerak tari) pada dasarnya adalah sama, yakni dengan tepukan tangan, tepukan dada dan tepukan di atas lutut, mengangkat tangan ke atas secara bergantian.
Tarian saman diciptakan dan dikembangkan oleh seorang tokoh Agama Islam bernama Syeh Saman. Syair saman dipergunakan bahasa Arab dan bahasa Aceh. Tarian ini tidak mempunyai iringan permainan, karena dengan gerakan-gerakan tangan dan syair yang dilagukan, telah membuat suasana menjadi gembira. Lagu-lagu (gerak-gerak tari) pada dasarnya adalah sama, yakni dengan tepukan tangan, tepukan dada dan tepukan di atas lutut, mengangkat tangan ke atas secara bergantian.
·
Tari Likok Pulo Aceh
Tarian ini lahir sekitar tahun 1849, diciptakan oleh seorang
Ulama tua berasal dari Arab, yang hanyut di laut dan terdampar di Pulo Acej
atau sering juga disebut Pulau (beras). Diadakan sesudah menanam padi atau
sesudah, biasanya pertunjukan dilangsungkan pada malam hari bahkan jika tarian
dipertandingkan berjalan semalam suntuk sampai pagi. Tarian dimainkan dengan
posisi duduk bersimpuh, berbanjar bahu membahu.
·
Laweut
Laweut berasal dari kata Selawat, sanjungan yang ditujukan
kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Sebelum sebutan laweut dipakai, pertama
sekali disebut Akoon (Seudati Inong). Laweut ditetapkan namanya pada Pekan
Kebudayaan Aceh II (PKA II).
·
Tari Pho
Perkataan pho berasal dari kata peuba-e, peubae artinya
meratoh atau meratap. Pho adalah panggilan/sebutan penghormatan dari
rakyat.hamba kepada Yang Maha Kuasa yaitu Po Teu Allah. Bila raja yang sudah
almarhum disebut Po Teumeureuhom.
·
Seudati
Sebelum adanya seudati, sudah ada kesenian yang seperti itu
dinamakan retoih, atau saman, kemudian baru ditetapkan nama syahadati dan
disingkat menjadi seudati. Pemain seudati terdiri dari 8 orang pemain dengan 2
orang syahi berperan sebagai vokalis, salah seorang diangkat sebagai syekh,
yaitu pimpinan group seudati. Seudati tidak diiringi oleh instrument musik
apapun.
Alat Musik Tradisional
Alat Musik Tradisional
·
Serune Kalee
Serune Kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh yaitu
sejenis Clarinet terutama terdapat di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, dan
Aceh Barat. Alat ini terbuat dari kayu, bagian pangkal kecil serta di bagian
ujungnya besar menyerupai corong. Di bagian pangkal terdapat piringan penahan
bibir peniup yang terbuat dari kuningan yang disebut perise.
·
Gendang (Geundrang)
Gendang terdapat hampir di seluruh daerah Aceh. Gendang
berfungsi sebagai alat musik tradisional, yang bersama-sama dengan alat musik
tiup seurune kalee mengiringi setiap tarian tradisional baik pada upacara adat
maupun upacara iainnya.
·
Canang
Canang adalah alat musik pukul tradisional yang terdapat
dalam kelompok masyarakat Aceh, Gayo, Tamiang dan Alas. Masyarakat Aceh
menyebutnya "Canang Trieng", di Gayo disebut "Teganing", di
Tamiang disebut "Kecapi" dan di Alas disebut dengan "Kecapi
Olah". Alat ini terbuat dari seruas bambu pilihan yang cukup tua dan baik.
Kemudian bambu tersebut diberi lubang, selanjutnya ditoreh arah memanjang untuk
mendapatkan talinya. Lobang yang terdapat pada ruas bambu itu disebut kelupak
(Alas dan Gayo).
·
Rapai
Rapai merupakan sejenis alat instrumen musik tradisional
Aceh, sama halnya dengan gendang. Rapai dibuat dari kayu yang keras (biasanya
dari batang nangka) yang setelah dibulatkan lalu diberi lobang di tengahnya.
Kayu yang telah diberi lobang ini disebut baloh. Baloh ini lebih besar bagian
atas dari pada bagian bawah. Bagian atas ditutup dengan kulit kambing sedangkan
bawahnya dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau pengatur tegangan kulit dibuat
dari rotan yang dibalut dengan kulit. (Penjepit ini dalam bahasa Aceh disebut
sidak).
d. Senjata
Reuncong (Rencong)
Ada empat macam rencong yang menjadi senjata andalan
masyarakat Aceh yaitu
-
Reuncong Meucugek
-
Reuncong Meupucok
-
Reuncong Pudoi
-
Reuncong Meukure
Siwaih
Peudeung (Pedang)
Berdasarkan daerah asal pedang, di Aceh dikenal beberapa
macam pedang yaitu:
·
Peudeung Habsyah (dari negara Abbsinia),
·
Peudeung Poertugis (dari Eropa Barat)
·
Peudeung Turki berasal dari Turi
Tombak
e. Permainan Tradisional
o Geulayang Tunang
o Geudeue-Geudeue
o Peupok Leumo
o Pacu Kude
o Bola Keranjang (bahasa gayo: tipak rege).
f. Tempat Wisata
o Kerkhoff
Sebagaimana diketahui bahwa Kerajaan Aceh dan rakyatnya sangat gigih melawan Belanda yang memerangi Aceh. Rakyat Aceh mempertahankan Negerinya dengan harta dan nyawa. Perlawanan yang cukup lama mengakibatkan banyak korban dikedua belah pihak. Bukti sejarah ini dapat ditemukan dipekuburan Belanda (Kerkhoff) ini. Disini dikuburkan kurang lebih 2000 orang serdadu Belanda yang kuburannya masih dirawat dengan baik.
Sebagaimana diketahui bahwa Kerajaan Aceh dan rakyatnya sangat gigih melawan Belanda yang memerangi Aceh. Rakyat Aceh mempertahankan Negerinya dengan harta dan nyawa. Perlawanan yang cukup lama mengakibatkan banyak korban dikedua belah pihak. Bukti sejarah ini dapat ditemukan dipekuburan Belanda (Kerkhoff) ini. Disini dikuburkan kurang lebih 2000 orang serdadu Belanda yang kuburannya masih dirawat dengan baik.
o Krueng Raya
Krueng
Raya, 35 Km dari Banda Aceh merupakansebuah tempat pelabuhan yang bernama
"Pelabuhan Malahayati", yang dapat ditempuh dalam waktu 30 menit dari
Banda Aceh. Sepanjang jalan ditemukan beberapa tempat yang menarik, antara lain
: Pantai
Ujong Batee , Lamreh, Benteng Indra Patra, Makam Laksamana Malahayati,
Ie Su-uem.
o Mesjid Raya Baiturrahman
Dipusat kota Banda Aceh berdiri dengan megahnya sebuah Mesjid yang agung yang bernama "MESJID RAYA BAITURRAMAN". Zaman dulu ditempat ini berdiri sebuah Mesjid Kerajaan Aceh. Sewaktu Belanda menyerang kota Banda Aceh pada tahun 1873 Mesjid ini dibakar, kemudian pada tahun 1875 Belanda membangun kembali sebuah Mesjid sebagai penggantinya.
o Museum Negeri Aceh
Kota Banda Aceh
memiliki sebuah Museum Negeri yang terletak dalam sebuah Kompleks. Bangunan
induk Museum berupa sebuah rumah tradisional Aceh, dibuat pada tahun 1914 untuk
Gelanggang Pameran di Semarang, yang kemudian dibawa pulang ke Banda Aceh tahun
1915 oleh Gubernur Van Swart (Belanda) yang kemudian dijadikan Museum.
o Pantai Lhoknga Dan Lampuuk
Pantai Lhoknga dan Lampuuk terletak di pantai barat Aceh. Dari Banda Aceh kurang lebih 17 km dan dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor dalam waktu kurang dari 20 menit.
Pantai ini cukup indah dan dapat digunakan sebagai tempat berenang, berjemur di pasir putih, memancing, berlayar, menyelam dan kegiatan rekreasi lainnya.
Sultan membangun sebuah gunung buatan yaitu Gunongan dimana permaisuri dapat memanjatinya. Begitu bangunan ini siap, permaisuri menjadi berbahagia dan lebih banyak menghabiskan waktunya disini terutama pada saat matahari akan tenggelam.
Kerajaan Aceh dahulu mempunyai taman yang indah yang dinamakan "Taman Sari". Taman ini berada disekitar Istana dan berada pada aliran sebuah sungai yang bernama "Krueng Daroy". Bangunan yang masih dapat dilihat antara lain adalah "Pinto-khop" yang merupakan pintu penghubung antara Istana dan taman. Disamping itu terdapat sebuah bangunan yang merupakan gunung buatan yang disebut "Gunongan".
o
Gunongan merupakan sebuah bangunan peninggalan Sultan Iskandar Muda (1608-1636) untuk permaisurinya Putri Phang. Menurut sejarah, Putri Phang selalu merasa rindu akan kampung halamannya, Pahang - Malaysia. Sultan kemudian mengetahui bahwa kegusaran permaisurinya itu karena di Pahang Istananya dikelilingi oleh perbukitan dimana permaisuri dapat bermain, namun disini tidak.
Gunongan merupakan sebuah bangunan peninggalan Sultan Iskandar Muda (1608-1636) untuk permaisurinya Putri Phang. Menurut sejarah, Putri Phang selalu merasa rindu akan kampung halamannya, Pahang - Malaysia. Sultan kemudian mengetahui bahwa kegusaran permaisurinya itu karena di Pahang Istananya dikelilingi oleh perbukitan dimana permaisuri dapat bermain, namun disini tidak.
o Monumen RI
Setelah Indonesia merdeka (1945) Belanda masih ingin menjajah
Negeri ini. Dalam perjuangan phisik melawan penjajahan Belanda tersebut, pada
tahun 1948 Indonesia membutuhkan sebuah pesawat terbang untuk menembus blokade
musuh, karena banyak wilayah telah dikuasai Belanda. Untuk memperoleh sebuah
pesawat terbang untuk kepentingan negara waktu itu dirasa sangat sulit, karena
sedang berjuang dan keadaan keuangan negara belum memungkinkan.
o Pendopo Gubernur
Pendopo Gubernur dibangun oleh pemerintah Belanda pada tahun 1880 diatas tanah bekas Istana Kerajaan Aceh dan diperuntukkan sebagai tempat tinggal Gubernur Belanda. Kini bangunan tersebut merupakan tempat kediaman resmi Gubernur Aceh.
g. Makanan Tradisional
Masakan Aceh pada umumnya didominasi dengan citarasa pedas.
Untuk bumbunya, rempah-rempah termasuk jenis bumbu yang paling sering
digunakan. Namun, di Gampoeng Aceh ini, nilai pedasnya cenderung lebih
dikurangi, karena untuk menyesuaikan dengan selera pengunjungnya, sedangkan
penggunaan rempah-rempah lebih ditingkatkan. Misalnya, Bebek Bakar, Kari
Kambing, Martabak Aceh, Mie Aceh, Mie Kepiting.
F. AGAMA
Sebagian besar
penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli yang ada di
Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam.Agama
lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang
dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang
kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama
Konghucu.Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan
provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan
kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam
G.
ASIMILASI
DALAM BUDAYA ACEH
Setiap bangsa
mempunyai corak kebudayaan masing-masing. Kekhasan budaya yang dimiliki suatu
daerah merupakan cerminan identitas daerah tersebut. Aceh memiliki banyak corak
budaya yang khas
Kebudayaan juga
merupakan warisan sosial yang yang hanya dapat dimiliki oleh masyarakat yang
mendukungnya. Prof Dr H Aboebakar Atjeh dalam makalahnya pada seminar Pekan
Kebudayaan Aceh (PKA) II, Agustus 1972 menulis bahwa pada awalnya adat dan
budaya Aceh sangat kental dengan pengaruh Hindu. Ia merujuk pada beberapa buku
sebelumnya yang pernah ditulis oleh ahli ketimuran.
Hal itu terjadi karena
sebelum Islam masuk ke Aceh, kehidupan masyarakat Aceh sudah dipengaruhi oleh
unsur hindu. Setelah Islam masuk unsur-unsur hindu yang bertentangan dengan
Islam dihilangkan, namum tradisi yang dinilai tidak menyimpang tetap
dipertahankan.
Semua kota-kota hindu
tersebut setelah islam kuat di Aceh dihancurkan. Bekas-bekas kerajaan itu masih
bisa diperiksa walau sudah tertimbun, seperti di kawasan Paya Seutui, Kecamatan
Ulim (perbatasan Ulim dengan Meurah Dua), reruntuhan di Ladong. Bahkan menurut
H M Zainuddin, mesjid Indrapuri dibangun diatas reruntuhan candi. Pada tahun
1830, Haji Muhammad, yang lebih dikenal sebagai Tuanku Tambusi juga meruntuhkan
candi-candi dan batunya kemudian dimanfaatkan untuk membangun mesjid dan
benteng-benteng.
Asimiliasi adat dan
budaya itulah kemudian melahirkan budaya adat dan budaya Aceh sebagaimana yang
berlaku sekarang. Sebuah ungkapan bijak dalam hadih maja disebutkan, “Mate
aneuék meupat jeurat, gadoh adat pat tamita.” Ungkapan ini bukan hanya
sekedar pepatah semata. Tapi juga pernyataan yang berisi penegasan tentang
pentingnya melestarikan adat dan budaya sebagai pranata sosial dalam hidup
bermayarakat.
Adat dan kebudayaan
juga mewariskan sebuah hukum non formal dalam masyarakat, yakni hukum adat yang
merupakan hukum pelengkat dari hukum yang berlaku secara umum (hukum positif).
Disamping tunduk kepada hukum positif, masyarakat juga terikat dengan hukum dan
ketentuan adat.
Aceh memiliki kekhasan
tersendiri dalam hukum adat dengan berbagai lembaga adatnya yang sudah ada
semenjak zaman kerajaan. Hukum adat tersebut telah disesuaikan dengan filosofi
hukum Islam sehingga sukar dibedakan antara hukum dan adat itu sendiri. Seperti
tercermin dalam hadih maja, hukôm ngôn adat lagèë zat ngôn sifeut, syih
han jeut meupisah dua.
A. PAHLAWAN
Bangsa Aceh
merupakan bangsa yang gigih dalam mempertahankan kemerdekaannya. Kegigihan
perang bangsa Aceh, dapat dilihat dan dibuktikan oleh sejumlah pahlawan (baik
pria maupun wanita), serta bukti-bukti lainnya (empat jenderal Belanda tewas
dalam perang Aceh,
serta kuburan Kerkhoff yang pernah
mencatat rekor sebagai kuburan Belanda terluas di luar Negeri Belanda).
Pahlawan Perempuan
Pahlawan Pria
Tokoh asal Aceh
Lihat pula Suku Aceh untuk tokoh-tokoh yang bukan berasal
dari provinsi Aceh namun berketurunan Aceh.
·
Syamsuddin
al-Sumatrani
·
Teungku
Chik Pante Kulu
·
Ismail
al-Asyi
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
KESIMPULAN
Aceh adalah salah satu
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia paling barat, yang memiliki
ragam budaya, kesenian, pola hidup, dan bahasa, dan lain sebagainya. Budaya
yang beragam tersebut berasal dari nenek moyang terdahulu, ditambah budaya
campuran, yang diadaptasi dari sejarah terdahulu yang pernah dilewati di
wilayah Aceh sendiri. Sebagian besar masyarakat di aceh beragama islam. Masyarakat asli Aceh terutama beragama Islam,
dan sisanya adalah agama Budha, Kristen dan Hindu yang dianut oleh keturunan
Jawa, Cina, Batak dan India.
DAFTAR PUSTAKA
Nangroe-Aceh
0 komentar:
Posting Komentar